Selasa, 08 November 2011

korupsi dan solusinya

contoh kasus korupsi

Selasa, 23 Agustus 2011

Perkara Korupsi Mantan Bupati Banyuwangi Raib

Mantan Bupati Banyuwangi, Ratna Ani Lestari

Banyuwangi - Kasus korupsi yang melibatkan mantan Bupati Banyuwangi Ratna Ani Lestari, tidak jelas kelanjutannya. Kejaksaan Agung yang menanganinya belum membawa perkara itu ke pengadilan. Ini terlihat dari sembilan nama kepala daerah maupun mantan kepala daerah yang terlibat kasus korupsi, tidak terdapat nama Ratna Ani Lestari.

Seperti diberitakan sebelumnya, sembilan nama tersebut adalah Bupati Ogan Komering Ulu Selatan, Muhtaddin Sera'I; Bupati Batang, Jawa Tengah, Bambang Bintoro; Bupati Bulungan, Budiman Arifin; Walikota Medan, Rahudman Harahap; Bupati Kolaka, Buhari Matta; Gubernur Kalimantan Timur, Awang Farouk Ishak; Gubernur Kalimantan Selatan, Rudi Arifin; Wakil Bupati Purwakarta, Dudung B Supari; serta Bupati Kepulauan Mentawai Edison Seleleobaja.

Kasus mereka tidak bisa segera dibawa ke pengadilan karena penyidik kejaksaan belum mendapatkan hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan berkaitan dengan penentuan kerugian negara.

Jaksa Agung Basrief Arief beralasan tidak bisa mengintervensi kewenangan BPKP. Apalagi audit dilakukan BPKP di daerah masing-masing kepala daerah yang terlibat korupsi.

Ihwal perkara yang melibatkan Ratna Ani Lestari, wartawan berupaya meminta penjelasan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus), Andhi Nirwanto. Namun hingga Senin sore ini, 22 Agustus 2011, pertanyaan yang diajukan wartawan melalui pesan pendek ke telepon selulernya tidak mendapatkan jawaban.

Sebelum meminta penjelasan Andhi Nirwanto, wartawan meminta penjelasan Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan, Marwan Efendi. Ketika perkara Ratna ditangani Kejagung, Marwan menjabat Jampidsus.

Menurut Marwan, kendalanya karena perhitungan kerugian negara oleh Badan Pemeriksa Keuangan belum diterima penyidik kejaksaan. “Itu masih ada persoalan perhitungan kerugian negara oleh BPK. Kami angkat perkara itu karena menurut BPK ada pos anggaran yang tidak bisa dipertanggungjawabkan,” kata Marwan melalui pesan pendeknya kepada Tempo, Jumat, 19 Agustus 2011.

Ratna Ani Lestari diduga terbelit kasus penggelembungan ganti rugi lahan untuk pembangunan lapangan terbang Blimbingsari, Banyuwangi. Bupati Banyuwangi periode 2005-2010 itu menjadi Ketua Tim Pembebasan Tanah tahun 2006 – 2007. Akibat penggelembungan harga tersebut, sesuai hasil audit BPK, terdapat kerugian negara Rp 19,76 miliar. Berdasarkan fakta tersebut, Kejagung menetapkan Ratna sebagai tersangka sejak 29 Agustus 2008.

Kasus tersebut juga melibatkan banyak pejabat Banyuwangi, termasuk mantan bupati sebelum Ratna, yakni Samsul Hadi dengan kerugian negara Rp 21,2 miliar. Pejabat lainnya adalah mantan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Banyuwangi, Nawolo Prasetyo; mantan Pelaksana Tugas kepala BPN, Suharno; mantan Sekretaris Kabupaten Sujiharto; mantan Kepala Bagian Perlengkapan Sugiharto; mantan Camat Kabat, Sugeng Siswanto; dan mantan Kepala Desa Pengantigan, Effendi.

Samsul Hadi dan enam pejabat tersebut dikenal dengan para tersangka jilid I. Adapun Ratna masuk jilid II. Bersama Ratna ikut terseret mantan Kepala Bagian Umum yang juga pernah menjabat Kepala Dinas Peternakan, Budiyanto: dan mantan Kepala Dinas Perhubungan, Bambang Wahyudi.

Kecuali Ratna, sembilan mantan pejabat tersebut semuanya sudah diadili di Pengadilan Negeri Banyuwangi selama tahun 2009. Mereka diganjar hukuman antara 4 tahun hingga 10 tahun. Ratna pernah menjalani pemeriksaan di Kejagung, Jakarta, Senin, 8 Pebruari 2010. Didampingi penasehat hukumnya, Slamet Yuwono dari kantor pengacara OC Kaligis, Ratna menghadapi penyidik sejak pukul 09.00 hingga pukul 15.30 WIB.

Pemeriksaan tersebut sesuai janji Kepala Pusat Penerangan dan Hukum Kejaksaan Agung saat itu, Didiek Hermanto. Namun, setelah pemeriksaan tersebut tidak ada lagi kabar tentang kelanjutan perkaranya.

Itu sebabnya aktivis sejumlah lembaga swadaya masyarakat anti korupsi berkali-kali menjadikan Kejaksaan Negeri Banyuwangi sebagai sasaran unjukrasa. Mereka melancarkan protes karena kejaksaan dinilai tidak adil dan bersikap tebang. Namun pihak Kejari Banyuwangi tidak bisa bersikap karena kasusnya ditangani Kejagung.

Sementara itu, hingga berita ini ditulis, Ratna Ani Lestari belum bisa dimintai konfirmasi. Sejak lengser dari jabatannya sebagai bupati, Ratna tidak bisa dijumpai di Banyuwangi. Upaya wartawan meminta bantuan suaminya, Gede Winasa, mantan Bupati Jembrana, Bali, juga tidak membawa hasil. Dua nomor telepon selulernya tidak bisa dihubungi. Pertanyaan yang diajukan melalui pesan pendek juga tidak mendapatkan jawaban. (Jalil Hakim, Ika Ningtyas)

Sumber: tempointeraktif, Senin, 22 Agustus 2011
Sumber Foto: koranisun.blogspot.com


1. Pengertian korupsi.
Banyak para ahli yang mencoba merumuskan korupsi, yang jka dilihat dari struktrur bahasa dan cara penyampaiannya yang berbeda, tetapi pada hakekatnya mempunyai makna yang sama.

Kartono (1983) memberi batasan korupsi sebagi tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan negara. Jadi korupsi merupakan gejala salah pakai dan salah urus dari kekuasaan, demi keuntungan pribadi, salah urus terhadap sumber-sumber kekayaan negara dengan menggunakan wewenang dan kekuatankekuatan formal (misalnya denagan alasan hukum dan kekuatan senjata) untuk memperkaya diri sendiri.

Korupsi terjadi disebabkan adanya penyalahgunaan wewenang dan jabatan yang dimiliki oleh pejabat atau pegawai demi kepentingan pribadi dengan mengatasnamakan pribadi atau keluarga, sanak saudara dan teman. Wertheim (dalam Lubis, 1970) menyatakan bahwa seorang pejabat dikatakan melakukan tindakan korupsi bila ia menerima hadiah dari seseorang yang bertujuan mempengaruhinya agar ia mengambil keputusan yang menguntungkan kepentingan si pemberi hadiah. Kadang-kadang orang yang menawarkan hadiahdalam bentuk balas jasa juga termasuk dalam korupsi.

Selanjutnya, Wertheim menambahkan bahwa balas jasa dari pihak ketiga yang diterima atau diminta oleh seorang pejabat untuk diteruskan kepada keluarganya atau partainya/ kelompoknya atau orang-orang yang mempunyai hubungan pribadi dengannya, juga dapat dianggap sebagai korupsi. Dalam keadaan yang demikian, jelas bahwa ciri yang paling menonjol di dalam korupsi adalah tingkah laku pejabat yang melanggar azas pemisahan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan masyarakat, pemisaham keuangan pribadi dengan masyarakat.

2. Sebab-sebab korupsi
Ada beberapa sebab terjadinya praktek korupsi. Singh (1974) menemukan dalam penelitiannya bahwa penyebab terjadinya korupsi di India adalah kelemahan moral (41,3%), tekanan ekonomi (23,8%), hambatan struktur administrasi (17,2%), hambatan struktur sosial (7,08 %). Sementara itu Merican (1971) menyatakan sebab-sebab terjadinya korupsi adalah sebagai berikut :
  1. a. Peninggalan pemerintahan kolonial.
  2. b. Kemiskinan dan ketidaksamaan.
  3. c. Gaji yang rendah
  4. d. Persepsi yang populer.
  5. e. Pengaturan yang bertele-tele.
  6. f. Pengetahuan yang tidak cukup dari bidangnya.

Di sisi lain Ainan (1982) menyebutkan beberapa sebab terjadinya korupsi yaitu :
  1. Perumusan perundang-undangan yang kurang sempurna.
  2. Administrasi yang lamban, mahal, dan tidak luwes.
  3. Tradisi untuk menambah penghasilan yang kurang dari pejabat pemerintah dengan upeti atau suap.
  4. Dimana berbagai macam korupsi dianggap biasa, tidak dianggap bertentangan dengan moral, sehingga orang berlomba untuk korupsi.
  5. Di India, misalnya menyuap jarang dikutuk selama menyuap tidak dapat dihindarkan.
  6. Menurut kebudayaannya, orang Nigeria Tidak dapat menolak suapan dan korupsi, kecuali mengganggap telah berlebihan harta dan kekayaannya.
  7. Manakala orang tidak menghargai aturan-aturan resmi dan tujuan organisasi pemerintah, mengapa orang harus mempersoalkan korupsi.

Dari pendapat para ahli diatas, maka dapat disimpulkan bahwa sebab-sebab terjadinya korupsi adalah sebagai berikut :
  1. Gaji yang rendah, kurang sempurnanya peraturan perundang-undangan, administrasi yang lamban dan sebagainya.
  2. Warisan pemerintahan kolonial.
  3. sikap mental pegawai yang ingin cepat kaya dengan cara yang tidak halal, tidak ada kesadaran bernegara, tidak ada pengetahuan pada bidang pekerjaan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah.

3. Akibat-akibat korupsi.
Nye menyatakan bahwa akibat-akibat korupsi adalah :
  1. Pemborosan sumber-sumber, modal yang lari, gangguan terhadap penanaman modal, terbuangnya keahlian, bantuan yang lenyap.
  2. ketidakstabilan, revolusi sosial, pengambilan alih kekuasaan oleh militer, menimbulkan ketimpangan sosial budaya.
  3. pengurangan kemampuan aparatur pemerintah, pengurangan kapasitas administrasi, hilangnya kewibawaan administrasi.

Selanjutnya Mc Mullan (1961) menyatakan bahwa akibat korupsi adalah ketidak efisienan, ketidakadilan, rakyat tidak mempercayai pemerintah, memboroskan sumber-sumber negara, tidak mendorong perusahaan untuk berusaha terutama perusahaan asing, ketidakstabilan politik, pembatasan dalam kebijaksanaan pemerintah dan tidak represif.

Berdasarkan pendapat para ahli di atas, maka dapat disimpulkan akibat-akibat korupsi diatas adalah sebagai berikut :
  1. Tata ekonomi seperti larinya modal keluar negeri, gangguan terhadap perusahaan, gangguan penanaman modal.
  2. Tata sosial budaya seperti revolusi sosial, ketimpangan sosial.
  3. Tata politik seperti pengambil alihan kekuasaan, hilangnya bantuan luar negeri, hilangnya kewibawaan pemerintah, ketidakstabilan politik.
  4. Tata administrasi seperti tidak efisien, kurangnya kemampuan administrasi, hilangnya keahlian, hilangnya sumber-sumber negara, keterbatasan kebijaksanaan pemerintah, pengambilan tindakan-tindakan represif. 

Secara umum akibat korupsi adalah merugikan negara dan merusak sendisendi kebersamaan serta memperlambat tercapainya tujuan nasional seperti yang tercantum dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945.

4. Upaya penanggulangan korupsi.
Korupsi tidak dapat dibiarkan berjalan begitu saja kalau suatu negara ingin mencapai tujuannya, karena kalau dibiarkan secara terus menerus, maka akan terbiasa dan menjadi subur dan akan menimbulkan sikap mental pejabat yang selalu mencari jalan pintas yang mudah dan menghalalkan segala cara (the end justifies the means). Untuk itu, korupsi perlu ditanggulangi secara tuntas dan bertanggungjawab.

Ada beberapa upaya penggulangan korupsi yang ditawarkan para ahli yang masing-masing memandang dari berbagai segi dan pandangan. Caiden (dalam Soerjono, 1980) memberikan langkah-langkah untuk menanggulangi korupsi sebagai berikut :
  • Membenarkan transaksi yang dahulunya dilarang dengan menentukan sejumlah pembayaran tertentu.
  • Membuat struktur baru yang mendasarkan bagaimana keputusan dibuat.
  • Melakukan perubahan organisasi yang akan mempermudah masalah pengawasan dan pencegahan kekuasaan yang terpusat, rotasi penugasan, wewenang yang saling tindih organisasi yang sama, birokrasi yang saling bersaing, dan penunjukan instansi pengawas adalah saran-saran yang secara jelas diketemukan untuk mengurangi kesempatan korupsi.
  • Bagaimana dorongan untuk korupsi dapat dikurangi ? dengan jalan meningkatkan ancaman.
  • Korupsi adalah persoalan nilai. Nampaknya tidak mungkin keseluruhan korupsi dibatasi, tetapi memang harus ditekan seminimum mungkin, agar beban korupsi organisasional maupun korupsi sestimik tidak terlalu besar sekiranya ada sesuatu pembaharuan struktural, barangkali mungkin untuk mengurangi kesempatan dan dorongan untuk korupsi dengan adanya perubahan organisasi.

sumber pustaka : http://library.usu.ac.id/download/fisip/fisip-erika1.pdf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar